Rubrik Wawancara Archive - Universitas Muhammadiyah Jakarta https://umj.ac.id/wawancara/ Terkemuka, Modern, Islami Wed, 14 Feb 2024 08:29:54 +0000 id hourly 1 https://umj.ac.id/storage/2022/01/logo-bg-white-e1642212261328-150x150.jpeg Rubrik Wawancara Archive - Universitas Muhammadiyah Jakarta https://umj.ac.id/wawancara/ 32 32 Dahulu Pemred Mading Sekolah, Sekarang Direktur TV Muhammadiyah https://umj.ac.id/wawancara/dahulu-pemred-mading-sekolah-sekarang-direktur-tv-muhammadiyah/ Wed, 14 Feb 2024 08:26:27 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=49734 Mengawali karier sebagai pemimpin redaksi majalah dinding  (mading) di SMA, Dr. Makroen Sanjaya yang kini duduk sebagai Direktur TV Muhammadiyah telah lalu-lalang puluhan tahun lamanya dari media ke media. Seperti apa pengalaman dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) ini selama menjadi wartawan? Simak kisahnya berikut ini. Saat […]

Artikel Dahulu Pemred Mading Sekolah, Sekarang Direktur TV Muhammadiyah pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Mengawali karier sebagai pemimpin redaksi majalah dinding  (mading) di SMA, Dr. Makroen Sanjaya yang kini duduk sebagai Direktur TV Muhammadiyah telah lalu-lalang puluhan tahun lamanya dari media ke media. Seperti apa pengalaman dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) ini selama menjadi wartawan? Simak kisahnya berikut ini.

Saat berbincang dengan Dr. Makroen belum lama ini,  penulis tidak mengajukan banyak pertanyaan namun durasi wawancara jadi lebih panjang karena banyak cerita menarik. Salah satunya cerita saat duduk di bangku SMA dulu Makroen sudah dipercaya jadi pemimpin redaksi mading sekolahnya, lalu melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (STIKOSA) yang menjadi titik awal kariernya sebagai wartawan dan melupakan cita-cita sebelumnya.

Cita-cita menjadi petinju sewaktu kecil karena gemar menonton Thomas Americo beraksi, urung. Cita-cita jadi polisi pun tak sampai karena tinggi badan yang tidak memenuhi syarat. Cita-cita lainnya menjadi dokter, ikut urung semenjak bakat dan potensinya di bidang tulis menulis muncul dan semakin terasah saat di SMA.

“Bulan pertama masuk SMA, saya diminta guru Bahasa Indonesia menjadi pemimpin redaksi mading sekolah. Mading itu kan kadang ada yang kirim tulisan, kadang tidak ada. Akhirnya kita isi semuanya. Otomatis menulis cerpen, editorial, galeri foto kegiatan sekolah,” kenangnya

Karena suka menulis, kemampuannya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan mulai mengikuti berbagai perlombaan menulis. Salah satu yang berkesan baginya saat Juara 2 Lomba se-Kabupaten Lamongan yang diselenggarakan oleh Kodim dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.

“Saya menulis tentang kisah heroik KH Amin yang dieksekusi mati Belanda. Saya telusuri jejak riwayat KH Amin, mengunjungi makamnya, dan wawancara keluarganya. Tulisan itu jadi karangan prosa dan dapat Juara 2 se-Kabupaten Lamongan,” tuturnya.

Makroen sangat hobi membaca.  Apapun. Dari koran, hingga majalah. Hobi lainnya adalah mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Makroen menyebut nama Harmoko, Menteri Penerangan pada era Soeharto yang juga berprofesi sebagai wartawan, sebagai salah satu orang yang menginspirasi dirinya menjadi wartawan.

Makroen yang kini aktif sebagai Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (2022-2027) ini menolak saran ayah angkatnya untuk kuliah di IKIP agar jadi guru. Namun ia berhasil meyakinkan ayahnya bahwa wartawan adalah profesi hebat.

Dosen yang juga aktif mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengaku merinding ketika menceritakan ayah angkatnya yang sangat mendorongnya untuk kuliah ketimbang bekerja selepas lulus SMA.

Makroen mengaku melewati hari-hari yang cukup berat karena harus kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (STIKOSA) sambil bekerja agar dapat membiayai hidup. Selain menulis untuk majalah dan media cetak, Makroen juga sempat bekerja sebagai kuli yang upahnya hanya cukup untuk ongkos dan makan sehari-hari.

Selama 36 tahun menjadi wartawan, Makroen, sudah pernah berkarier di Majalah FAKTA (1988-1990), Harian Pagi SURYA (1990-1996), SM NG Liputan 6 SCTV (1996-2004), Deputy EIC METROTV (2004-2012), TVMu 2013-2014 (Direktur), Deputy EIC RTV (2014-2020), TVMU 2020-Sekarang (Direktur).

 

Makroen Sanjaya pada masa menjadi jurnalis di media televisi. (Foto: dokumen pribadi)

Hebatnya dalam perjalanan kariernya  Makroen lebih sering dilamar, bukan melamar kerja.  Hanya sekali ia melamar menjadi wartawan, yaitu di SCTV. Sebelumnya, mengawali kariernya di media, Makroen meliput kasus temannya sendiri dan dikirim ke Majalah FAKTA. Kiriman wesel honor tulisan itu diterimanya dalam amplop cokelat besar disertai 1 bundel majalah dan selembar surat ‘lamaran’ untuk Makroen bekerja di sana.

Terlalu nyaman bekerja di Majalah FAKTA dan sempat cuti kuliah namun Makroen bisa menyelesaikan studinya. Selepas lulus S-1, Makroen tidak menyia-nyiakan kesempatan magang di Harian Surya, sebuah koran anak dari Kompas dan Pos Kota di Surabaya. Tiga bulan magang, Makroen menjadi satu-satunya dari lima lulusan yang ‘dilamar’ untuk menjadi wartawan di Harian Surya.

Begitu pun saat di RTV dan TvMu. Saat sedang mengawal TvMu pada rentang 2013 hingga 2014 atas panggilan dari Prof. Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu), Makroen diminta untuk bergabung di RTV, sebuah stasiun TV baru. Setelah meninggalkan banyak warisan program editorial di sana, Makroen pensiun dan kembali berkhidmat di persyarikatan sebagai Direktur TvMu hingga sekarang.

Tantangan Jadi Jurnalis, Diincar Intel Hingga Jadi Saksi Reformasi

Tantangan selama menjadi wartawan adalah bumbu perjalanan Makroen selama memburu berita. Menurutnya menjadi jurnalis itu harus memiliki modal kapital seperti kamera, mesin tik, dan lainnya untuk kebutuhan produksi berita.

“Mesin tik saya itu beli bekas, rombeng. Cetak, cetok, cetak, cetok. Kalau ada hurufnya hilang, itu ditulis manual. Kamera plastik Nikon itu saya pinjam dari sepupunya ibu angkat saya. Itu awal-awal jadi wartawan, kesulitannya finansial dan alat-alat produksi. Jaman dulu wartawan pemula itu mandiri, modal sendiri,” jelasnya.

Makroen juga bercerita tentang pengalaman menarik selama jadi wartawan.

“Waktu kerja di Harian Surya, awalnya saya ditempatkan di desk Metropolitan, se-Kota Surabaya. Tapi pada tahun 1992 saya dikirim jadi kepala biro di Banjarmasin gara-gara menulis berita tentang pencemaran Kali Brantas akibat limbah sabun dari pemukiman warga sepanjang sungai,” ceritanya.

“Tulisan itu jadi berita utama di Harian Surya. Saat itu masih Orde Baru. Saya diuber-uber intel. Pemimpin redaksi melindungi saya dengan cara mengirim saya ke Banjarmasin. Jaman dulu mana ada ngadu ke Dewan Pers. Wartawan kalau akan diciduk, ya diciduk saja, ” ungkapnya.

Makroen berangkat ke Kalimantan menggunakan kapal laut. Saat itu menjelang akhir bulan Ramadhan. Ia pun merasakan pertama kalinyab merayakan Idulfitri jauh dari keluarga.

“Habis salat id, saya ditemani Ahmadi, office boy Harian Surya, keliling kota naik motor. Sempat berhenti di pinggir jalan mendengarkan suara takbir yang menggetarkan hati. Oh iya ya, ini lebaran pertama saya jauh dari keluarga. Itu pengalaman diungsikan gara-gara berita. Kalau tidak diungsikan, saya sudah diciduk waktu itu,” tuturnya diiringi tawa ringan.

Cerita berlanjut ke tahun 1996. Untuk pertama kalinya Makroen melamar pekerjaan sebagai wartawan di stasiun SCTV. Awalnya hanya iseng,  ternyata lulus tes dan diterima bekerja di sana.

“Ketika SCTV membentuk Liputan 6  terjadi lompatan besar perubahan jurnalistik, dari dominasi media cetak ke televisi. Siaran tv mengalami kemajuan pesat beriringan dengan perubahan politik nasional. Liputan6 berdiri 1996. Terjadi reformasi tahun 1998. Saat Pak Harto mengundurkan diri siaran langsungnya ditonton seluruh dunia. Saya ada di situ!” tutur Makroen yang berniat menulis pengalamannya salam buku berseri. Buku pertama bertajuk “Sistem Pertelevisian Indonesia: Perspektif Historis, Bisnis, Budaya, dan Teknologi” bahkan telah terbit.

Peretas Jalan Program Kick Andy

Siapa tak tahu Kick Andy? Program unggulan di Metro TV itu adalah salah satu legacy Makroen Sanjaya. “Kick Andy itu, saya yang meretas jalan,” katanya.

Desember 2005, pria yang akrab disapa Cak Makroen ini bicara dari hati ke hati dengan Andy F Noya, Pemred Metro TV pada saat itu. Ia mencoba membujuk Andy agar bersedia dibuatkan program yang sampai sekarang dikenal dengan Kick Andy. Awalnya inisiasi untuk program itu sudah ada dari Surya Paloh, tapi Andy tidak bersedia karena posisinya sebagai Pemred membuatnya tidak enak hati.

Singkat cerita, selama pembicaraan dengan Makroen kala itu berhasil mengubah pikiran Andy. Ia bersedia dibuatkan program yang kemudian memercayai Makroen untuk menjalankannya. Akhirnya Makroen mengumpulkan setidaknya enam orang dalam satu tim untuk menyusun konsep program.

Ia melihat banyak keunikan dari Andy F Noya untuk branding, salah satunya rambut kribonya. Acara Oprah Winfrey yang saat itu digandrungi banyak orang jadi rujukan. Kick Andy menjadi program talkshow yang menghadirkan narasumber inspiratif yang jauh dari pemberitaan. Saat itu memang fenomena viral dan trending topic belum ada karena sosial media belum masif seperti sekarang.

Dewan Pertimbangan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) ini sangat antusias saat mengenang masa-masa mengawal program Kick Andy. Ia bercerita mulai dari awal mula penyusunan konsep hingga produksi. Bahkan ia masih ingat episode-episode awal Kick Andy. “Kalau cerita soal Kick Andy dua hari dua malam gak akan habis,” ungkapnya diiringi tawa.

Harapan untuk Pers Indonesia

Pers memiliki tanggung jawabnya yang mulia dan luhur. Hari Pers Nasional yang diperingati di bulan Februari dikaitkan Pemilu yang harus sukses LUBER JURDIL. Dalam hal ini, pers harus menciptakan situasi bukan hanya melaporkan sesuatu yang normatif, tapi harus menjadi pelopor gerakan. Menurut Makroen, saat ini terjadi penyimpangan tata kelola pemerintahan yang melanggar etika moral. Maka itu mejadi tugas pers meluruskan kembali arah perjalanan bangsa.

“Hari pers pada saat pemilu ini adalah momentum yang pas. Tugas pers menjadi kontrol sosial, pendidik masyarakat, fungsi informasi, fungsi ekonmi, kebudayaan, dan menghibur. Pers harus mengawal gerakan civil society dari civitas academica. Kalau ada suara kontra narasi yang terlihat rekayasa, harus tampilkan sebesar-besarnya agar masyarakat menilai. Mari kita kawal demokrasi yang merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pers harus mengawal ini menegakkan kembali maruah demokrasi pada jalur yang benar.”

Editor : Tria Parianti

 

Artikel Dahulu Pemred Mading Sekolah, Sekarang Direktur TV Muhammadiyah pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Dosen FIK UMJ Terapkan Budaya Belajar Baru https://umj.ac.id/wawancara/dosen-fik-umj-terapkan-budaya-belajar-baru/ Mon, 29 Jan 2024 03:32:28 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=49095 Selain meningkatkan kompetensi sesuai bidang keilmuan, studi di luar negeri bisa memberikan banyak hal berguna lainnya. Hal itu dirasakan langsung oleh Ninik Yunitri, M.Kep., Ns., Sp.Kep.J., Ph.D., dosen muda Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FIK UMJ) yang menyelesaikan studi doktoral di Taipei Medical University (TMU) pada 2023 lalu. Ninik, yang sebelumnya menjalani studi Magister […]

Artikel Dosen FIK UMJ Terapkan Budaya Belajar Baru pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Selain meningkatkan kompetensi sesuai bidang keilmuan, studi di luar negeri bisa memberikan banyak hal berguna lainnya. Hal itu dirasakan langsung oleh Ninik Yunitri, M.Kep., Ns., Sp.Kep.J., Ph.D., dosen muda Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FIK UMJ) yang menyelesaikan studi doktoral di Taipei Medical University (TMU) pada 2023 lalu.

Ninik, yang sebelumnya menjalani studi Magister dan Spesialis Keperawatan Jiwa di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, mengakui bahwa lingkungan pertemanan yang sangat akademis di Taipei memacunya untuk tidak tertinggal dari teman-temannya di kelas internasional. Ia menuntut ilmu dengan semangat dan berdisiplin sampai berhasil meraih  gelar Ph.D., walaupun beberapa kali harus dirawat di rumah sakit karena kelelahan.

Saat ditemui di Gedung FIK UMK, dosen yang duduk sebagai Pemimpin Redaksi Internasional Journal Nursing Science and Practice ini mengungkap bahwa ia menemukan budaya belajar baru saat menempuh studi di Taipei. Ia lantas membawa dan menerapkan budaya baru itu di FIK UMJ, yaitu  membuka diskusi dalam kelompok kecil mahasiswa, misalnya tentang cara melakukan penelitian.

Dengan raut wajah yang cerah ceria, Ninik menceritakan bagaimana mahasiswanya senang ikut dalam kelas-kelas kecil yang diadakannya itu. Bahkan tidak jarang mahasiswa menagih kelas lainnya di luar mata kuliah. Menurut Ninik, menerapkan budaya belajar seperti itu adalah strateginya untuk meningkatkan kemampuan analisis mahasiswa.

Ninik juga tergabung dalam ARSINE Study Club, sebuah komunitas pendidikan dan pelatihan yang didirikan bersama alumni TMU dari berbagai universitas di Indonesia pada 2020. Melalui forum ini, Ninik dan tim memberikan seminar dan pelatihan terkait penelitian serta penulisan artikel ilmiah. Terbaru, ARSINE Study Club bekerja sama dengan LOTUS Institute diundang untuk memberikan pelatihan bagi dosen-dosen di Universitas Andalas. Dengan keyakinan yang terpancar dari wajah cantiknya, Ninik mengatakan kelas-kelas itu juga terbuka bagi dosen-dosen di UMJ, “Gratis!” katanya.

Perempuan asal Tanjung Pinang ini mengaku selama studi doktoral, dirinya semakin senang meneliti dan menulis artikel ilmiah. Salah satu artikelnya yang tembus di jurnal internasional terindeks Scopus, berjudul “Global prevalence and associated risk factors of posttraumatic stress disorder during COVID-19 pandemic: A meta-analysis,” telah disitasi lebih dari 50 orang di Scopus, lebih dari 80 orang di Google Scholar, dan beberapa portal jurnal lainnya.

Penelitian itu ia lakukan atas bimbingan profesor di TMU dan menjadi projectnya selama studi doktoral. Menggunakan metode meta-analisis, ia menseleksi ribuan artikel dari seluruh dunia untuk menemukan dan menganalisa data terkait angka prevalensi posttraumatic stress disorder (PTSD) selama pandemi COVID-19 secara global. Dari hasil penelitian tersebut, Ninik menemukan prevalensi tinggi PTSD terdeteksi pada individu yang terinfeksi COVID-19, dan tenaga kesehatan.

Pencapaiannya itu tidak lepas dari adaptasi budaya belajar yang berhasil diterapkan. Menurutnya, lingkungan akademis di TMU cukup kompetitif, tapi tetap seimbang antara otak kanan dan kiri. Meskipun mahasiswa di Taipei dianggap Ninik ‘gila belajar’ karena begitu betah duduk dan membaca di perpustakaan yang buka hingga tengah malam, akan tetapi sisi kreativitas dari otak kanan tetap ada.

Dosen FIK UMJ Terapkan Budaya Belajar Baru
Aktivitas Ninik Yunitri bersama mahasiswa internasional TMU.

Di TMU kegiatan seni dan budaya rutin dilaksanakan. Ia bersama mahasiswa internasional lainnya berpartisipasi dalam acara kesenian yang bertajuk Cultural Night setiap tahunnya. Kegiatan ini juga menjadi wadah bagi Ninik yang memiliki hobi bernyanyi dan menari yang telah dimilikinya sejak remaja saat tergabung di sebuah sanggar.

Ia berbisik, ada darah seni mengalir dan sempat terpikir selepas SMA ingin melanjutkan studi untuk mendalami bidang kesenian mengikuti jejak kakaknya. Di sela perbincangan tentang pengalaman studi, Ninik membocorkan dulu pernah mengikuti audisi ajang pencarian bakat Indonesian Idol meskipun tidak sampai babak yang disiarkan di televisi.

Ninik memang memiliki hobi seni. Bahkan ia juga yang mengajarkan mahasiswa FIK UMJ beberapa tarian tradisional yang kerap ditampilkan mahasiswa pada acara-acara di FIK. Namun Ninik mensyukuri takdir membawanya kuliah S-1 Keperawatan di UMJ yang menurutnya memiliki lingkungan Islami.

“Pendidikan agama saya sangat kurang. Institusi Muhammadiyah tidak banyak diketahui. Sekolah Muhammadiyah menjadi pilihan terakhir di lingkungan kampung halaman saya. Namun setelah saya bergabung dan menjadi mahasiswa UMJ, saya melihat Muhammadiyah dari perspektif yang berbeda. Saya bersyukur berada di lingkungan dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama yang baik,” kata alumni FIK UMJ dengan IPK sempurna ini.

Perbincangan beralih ke topik adaptasi. Tinggal dan belajar di lingkungan baru tentu tidak selalu berjalan mulus. Selama hidup di Taiwan, sebagai minoritas di Taipei, Ninik tidak pernah kesulitan dalam melakukan ibadah. TMU menyediakan fasilitas yang sangat nyaman untuk melaksanakan ibadah. Beberapa program keagamaan juga di jalankan persatuan pelajar Indonesia (PPI) dengan dukungan penuh dari pimpinan TMU seperti kajian rutin, buka puasa bersama, salat id, dll. Ia juga mengaku senang karena bisa mensyiarkan nilai-nilai agama Islam kepada teman-temannya yang beragama.

Kesulitan Ninik pada awal masuk kuliah justru adalah takdirnya menjadi mahasiswa internasional angkatan pertama di bawah bimbingan Professor Kuei-Ru Chou. “Orang Indonesia kan kemampuan menelitinya masih minimal. Dikarenakan saya anak bimbingan pertama, saya tidak punya rekan satu lab yang bisa saya ajak diskusi,” katanya.

Sebagai orang Indonesia yang sebelumnya tidak pernah studi di luar negeri, Ninik merasa bahwa kemampuan menelitinya tidak sama dengan mahasiswa internasional lainnya. Namun ia bersyukur memiliki teman seangkatan yang baik dan menjadi lingkungan yang mendorong dirinya untuk terus belajar. “Alhamdulillah saya punya teman kelas yang baik, jadi bisa berbagi,” tutur Ninik

Dosen yang memiliki suara merdu ini lantas membagikan tips yang bisa diterapkan oleh mahasiswa atau siapa saja. “Saya dan teman-teman di sana punya prinsip cara belajar yaitu ‘work hard, play hard.’ Misalnya saya punya target untuk membaca 1000 artikel, maka kalau berhasil saya akan pergi jalan-jalan untuk membeli sesuatu. Memang awalnya berat tapi setelah terbiasa, jadi mudah,” katanya.

Ninik sadar bahwa kegiatan penelitian dan penulisan artikel di Indonesia masih belum patuh sepenuhnya pada aturan yang ada. Itulah alasan Indonesia kalah saing dengan negara lain. “Itu karena kita tidak memperhatikan aturan, misalnya dalam penelitian. Saya selalu bilang ke mahasiswa bahwa jika mengerjakan sesuatu jangan berdasarkan kepada insting tetapi kepada rasionalitas dan sumbernya,” kata Ninik.

Dosen FIK UMJ Terapkan Budaya Belajar Baru
                Poster penelitian Ninik Yunitri

Maka dari itu, Ninik berulang kali mengatakan agar patuh pada aturan penelitian dan penulisan. Ia juga menyayangkan orang Indonesia yang tidak begitu aktif menulis. “Kita orang Indonesia, memiliki kecenderungan aktif berbicara dari pada menulis. Akan tetapi seorang dosen atau ilmuwan, perlu menuangkan ilmu dan pengetahuannya dalam tulisan sehingga lebih banyak orang yang mendapat manfaat. Ilmu tidak akan berguna jika kita tidak dibagikan, publish or perish,” ungkap Ninik.

Kini, Ninik terus melanjutkan perjalanannya hingga ia berharap dapat menjadi seorang profesor. “Saya sempat berujar bahwa pada saat umur 40 tahun, saya sudah menjadi seorang profesor. Namun ternyata belum, tapi saya ingin kesana. Saat ini saya sedang menulis buku tentang meta-analisis bersama rekan-rekan di ARSINE Study Club,” pungkasnya.

Saat ini Ninik aktif membina mahasiswa untuk tidak hanya menjadi perawat profesional, tapi juga menjadi peneliti dan penulis agar ilmu yang dimiliki semakin bermanfaat. Ninik selalu melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian dan penulisan artikel ilmiah baik dalam seminar skala nasional maupun internasional.

Pada tahun 2023, Ninik mendampingi dua mahasiswa berpartisipasi dalam kompetisi Palang Merah Internasional dan salah satunya terpilih sebagai perwakilan Indonesia yang mempresentasikan hasil kerjanya di Swiss.

Pada tahun yang sama, Ninik membimbing dua mahasiswa untuk melakukan oral presentation pada SIGMA International Conference yang akan dihelat di Singapura pada Juli 2024 mendatang.

Penulis : Dinar Meidiana
Editor : Tria Patrianti

 

 

 

Artikel Dosen FIK UMJ Terapkan Budaya Belajar Baru pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Kemal, Pionir Atlet PUBG Mobile UMJ https://umj.ac.id/wawancara/kemal-pionir-atlet-pubg-mobile-umj/ Wed, 13 Dec 2023 08:33:18 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=45646 Berawal dari main game online untuk mencari hiburan, Asro Gema Kemal Pasha, mahasiswa Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (POR FIP UMJ) ini sekarang dikenal sebagai atlet internasional PUBG Mobile. Kemal, demikian ia biasa disapa, mulai mencintai game PUBG Mobile sejak tahun 2013. Hal itu menutunnya terjun ke dunia e-sport. Turnamen demi turnamen […]

Artikel Kemal, Pionir Atlet PUBG Mobile UMJ pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Berawal dari main game online untuk mencari hiburan, Asro Gema Kemal Pasha, mahasiswa Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta (POR FIP UMJ) ini sekarang dikenal sebagai atlet internasional PUBG Mobile.

Kemal, demikian ia biasa disapa, mulai mencintai game PUBG Mobile sejak tahun 2013. Hal itu menutunnya terjun ke dunia e-sport. Turnamen demi turnamen diikuti hingga membukakan peluang baginya untuk turut serta di berbagai kompetisi tingkat nasional dan internasional. Kemal mulai aktif mengikuti berbagai kejuaraan di tahun 2015, sempat bergabung dengan beberapa komunitas hingga akhirnya direkrut oleh komunitas e-sport, Booms.id.

Menjadi atlet e-sport bukanlah hal yang mudah Kemal harus melewati jam-jam latihan yang intensif. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu selama 8 jam untuk latihan dan 4 jam untuk streaming. Tapi berkat kegigihannya itu Kemal mampu meraih berbagai prestasi. Salah satunya di tahun 2019, saat Kemal bersama timnya terpilih mewakili Indonesia pada ajang PUBG Mobile Club Open (PMCO) tingkat Asia Tenggara.

Kemal yang berstatus mahasiswa semester akhir ini adalah salah satu penggerak komunitas e-sport di UMJ. Ia menilai potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa UMJ perlu dikembangkan. Komunitas e-sport UMJ  memiliki anggota hampir 300 mahasiswa dari berbagai fakultas di UMJ.

“Waktu itu saya tidak pernah dengar ada mahasiswa UMJ masuk ke dalam kancah e-sport, makanya saya ingin menyalurkan bakat yang saya miliki supaya bisa mereka terapkan. Jadi main game jangan hanya sekadar fun saja,” ungkap Kemal saat ditemui di Gedung Businees Center UMJ.

E-sport UMJ sendiri merupakan salah satu komunitas yang bernaung di POR FIP UMJ dan berada di bawah bimbingan Dosen POR FIP UMJ, Dr. Surya Rezeki Sitompul, M.Pd. Dalam komunitas ini Kemal berperan sebagai penasihat. Sejak terbentuk pada tahun 2020, saat ini komunitas e-sport UMJ memiliki dua cabang olahraga, yakni PUBG Mobile dan Mobile Legend. Komunitas inipun telah mencetak beberapa atlet dan telah mengikuti beberapa kompetisi.

Tahun ini komunitas e-sport UMJ juga menggelar seminar e-sport khusus untuk kalangan pelajar. Seminar tersebut juga ditindaklanjuti dengan gelaran kompetisi PUBG Mobile dan Mobile Legend antar SMA dan Perguruan Tinggi.

Selama menekuni di dunia e-sport, tentu saja ada tantangan yang dihadapi Kemal.  Salah satunya adalah penolakan dari orang tuanya yang bergerak di dunia pendidikan. Namun Kemal tidak pernah putus asa untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa game bukan hanya sekadar untuk main-main saja, tetapi juga bisa menjadi peluang karier, khususnya di bidang e-sport.

“Walaupun orang tua tidak menyetujui adanya e-sport, kalian sebagai mahasiswa harus bisa memberitahu dan meyakinkan orang tua bahwa e-sport ini akan maju dan berkembang. Jadi jangan berkecil hati. Tetap berkembang dan tetap belajar. Tetaplah pada jalan kalian, tetapi juga harus punya masa depan,” pungkas Kemal, yang memang tak pernah lupa perannya sebagai mahasiswa, karena menurutnya pendidikan adalah hal yang penting dan harus diseimbangkan.

Penulis : Nadiva Rahma
Editor   : Tria Patrianti

Artikel Kemal, Pionir Atlet PUBG Mobile UMJ pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Mahasiswa FISIP UMJ Bagi-Bagi Dimsum Gratis Saat Wisuda Ke 78 https://umj.ac.id/wawancara/mahasiswa-fisip-umj-bagi-bagi-dimsum-gratis-saat-wisuda-ke-78/ Tue, 21 Nov 2023 07:36:25 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=43092 Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UMJ) Adonis Prabowo membagikan produk usahanya berupa dimsum secara gratis di wisuda ke 78 di Aula Cendikia K.H Azhar Basyir, Selasa (21/11/23). Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa syukur telah lulus menjadi sarjana pertama di keluarganya. Kisah Donis menjadi pengusaha dimsum patut […]

Artikel Mahasiswa FISIP UMJ Bagi-Bagi Dimsum Gratis Saat Wisuda Ke 78 pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UMJ) Adonis Prabowo membagikan produk usahanya berupa dimsum secara gratis di wisuda ke 78 di Aula Cendikia K.H Azhar Basyir, Selasa (21/11/23). Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa syukur telah lulus menjadi sarjana pertama di keluarganya.

Kisah Donis menjadi pengusaha dimsum patut menjadi inspirasi i Adonis Prabowo, wisudawan Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) tidak pernah mengeluh terlahir dalam keluarga yang serba pas-pasan.

Meskipun terlahir dari keluarga pedagang kecil, Adonis tidak merasa minder memiliki cita-cita tinggi untuk bisa mengenyam bangku kuliah. Melalui usaha dan ketekunannya berhasil mengantarkannya menjadi seorang sarjana pertama di keluarganya.

“Mau kamu tidak berkecukupan, kamu pasti bisa sukses. Karena kesuksesan itu tidak bisa dimonopoli oleh seseorang,” tutur Adonis

Adonis yang ditemui di ruangan Kantor Sekretariat Universitas (KSU), Selasa (14/11/2023), memulai pendidikannya di UMJ pada tahun 2017 ini bercerita tentang keinginan kuatnya menempuh pendidikan tinggi.

Adonis sadar kalau orang tuanya tidak dapat membiayai perkuliahannya, sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kesulitan biaya sudah ia rasakan.

Menanggung beban berat itu, setelah menamatkan bangku SMA, Ia terpaksa mengubur sementara cita-citanya. Adonis memulai perjalanan hidupnya dengan bekerja dalam bidang Food and Bevarage (FnB).

Walaupun sudah bekerja, keinginan menempuh pendidikan tinggi tidak pernah surut, bahkan terus bertambah seiring mempunyai penghasilan dari pekerjaannya.

Tepat pada tahun 2014, Adonis bertekad untuk berkuliah dan mencari informasi tentang perguruan tinggi. Berbekal informasi teman, membawanya ke Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Namun, perjumpaan itu belum cukup mewujudkan impiannya, bukan cuma persoalan biaya tapi waktu juga menyulitkannya. Pekerjaannya dibidang FnB tidak bisa mendukungnya untuk bekerja dan berkuliah.

Anak terakhir dari tiga bersaudara ini, lagi-lagi harus menunda impiannya. “Setelah itu, selama dua tahun saya selalu teringat tentang UMJ dan keinginan berkuliah di sana,” ungkap laki-laki kelahiran 13 Juni 1994.

Keinginannya itu tidak lagi dapat dibendung, Adonis memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan mulai memikirkan bagaimana ia bisa memulai pendidikan tingginya.

Ia bercerita bahwa latar belakang keluarga sebagai pedang kecil, ditambah dengan pengalamannya bekerja di bidang FnB. Hal itu dilihatnya sebagai peluang untuk membuka usaha dalam membantu membiayai pendidikannya.

Akhirnya, Adonis membuka usaha pertamanya yaitu siomay. Selama setahun, ia berhasil mengumpulkan modal yang cukup dan memulai perkuliahan pada tahun 2017.

“Saya berpikir jika bekerja, pasti akan di bidang yang sama (FnB) lagi, karena berdasarkan pengalaman itu akan membuat saya akan susah untuk berkuliah. Bapak saya mempunyai usaha tetapi tidak konsisten. Lalu, saya putuskan untuk membuat usaha juga, tetapi yang minim resiko, pilihannya adalah siomay,” tutur Adonis.

Orang sukses adalah yang bisa bermanfaat untuk orang lain, kalimat yang menjadi prinsipnya itu menuntun dirinya memilih Program Studi kesejahteraan sosial.

“Sebelumnya, saya belum tau pekerjaan sosial itu apa, menurut saya orang sukses itu bisa bermanfaat untuk orang lain, itu memang kalimat biasa. Kamu jadi orang biasa saja tetapi bisa bermanfaat membuat orang lain yang tidak berdaya menjadi berdaya, itu sesuai dengan arti kesejahteraan sosial dan saya ambil itu,” ungkap Donis sambil tersenyum.

Selama berkuliah, Donis dibantu oleh kedua orang tuanya untuk berjualan secara bergantian. Rupanya di bangku perkuliahaan membuka babak baru dalam kehidupannya, melalui mata kuliah kewirausahaan sosial ia menemukan rumus Islam, Enterpreneur, dan Kesejahteraan sosial.

Ketiga rumus itu membawanya mengembangkan usahanya, bermula siomay menjadi berjualan dimsum. Donis bercerita bahwa dalam Islam diajarkan untuk saling berbagi kepada sesama, ditengah menjalankan usahanya, ia sering mendapatkan cerita dari temannya tentang dampak berbagi.

“Teman saya selalu bercerita tentang dampak bersedekah bagi usahanya. Akhirnya saya mencoba untuk mengikuti jejaknya dengan memberi dua kotak nasi padang,” ujar Donis.

Baginya, ajaran tersebut menjadi pembuka jalan dalam mengembangkan usaha lainnya yakni usaha dimsum, ia menceritakan keinginannya membuka usaha baru satu persatu terwujud mulanya hanya menjual, tetapi lama-lama Donis bisa memproduksi sendiri.

“Saya melakukan sholat tahajud dan berdoa ingin membuat dinsum sendiri, akhirnya Allah kasih jalan. Saya bisa bekerja sama dengan mantan kepala produksi dimsum, kemudian mulai membuat dan berjualan secara mandiri,” tutur Donis.

Selama di bangku perkuliahaan, Donis meyakini hal yang didapatkannya bisa dijelaskan, ketiga rumus tersebut saling berkaitan.

“Menggabungkan ketiganya itu saya dapatkan dari pembelajaran di UMJ, semuanya bisa ditelusuri dalam sejarah Islam, baik tentang bersedekah dan berwirausaha. Dari berwirausaha saya mencoba memberdayakan orang lain, itu juga termasuk dalam prinsip kesejahteraan sosial. Semua itu mengundang keberkahan dari Allah,” jelas Donis.

Donis juga mengkolaborasikan ketiganya menjadi program Jum’at Muamalah (JM). JM adalah program rutin yang ia buat untuk berbagi makanan di setiap Jum’at kepada marbot, duafa, dan masyarakat di sekitar rumahnya.

Usaha dimsumnya dikenal dengan nama Indodimsum, toko online yang menjual berbagai varian dimsum sampai saat ini sudah berhasil menjual 6000 pcs perhari. Distribusi penjualannya mencakup wilayah Pamulang, Bekasi, dan Karawang. Tidak hanya itu, Anak dari pasangan Bapak Edi dan Ibu Rohaenah saat ini total sudah memiliki 25 karyawan. Kini usahanya terus berlanjut hingga mengantarkannya menjadi Sarjana pertama dikeluarganya.

Menutup pertemuan, Donis memberikan pesan untuk semua wisudawan “Saat ingin mengejar impian, jangan hanya impiannya saja. Tetapi kita harus kejar siapa Sang pengaturNya. Kita harus dekatkan diri denganNya. Tidak lupa juga, kesuksesan itu tidak ditentukan dari harta atau jabatan tetapi dari kebermanfaatan” tutup Donis.

Penulis : Fazri Maulana
Editor   : Dian Fauzalia

Artikel Mahasiswa FISIP UMJ Bagi-Bagi Dimsum Gratis Saat Wisuda Ke 78 pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Sambut Milad Ke-68, Melihat Kembali Perkembangan UMJ Bersama Prof. Masyitoh https://umj.ac.id/wawancara/sambut-milad-ke-68-melihat-kembali-perkembangan-umj-bersama-prof-masyitoh/ Thu, 16 Nov 2023 17:01:19 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=43101 Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) akan merayakan usia Ke-68 pada 18 November 2023. Seiring pertambahan usia tersebut, UMJ terus berkomitmen mewujudkan visi dan misinya menjadi universitas Terkemuka, Modern, dan Islami. Sebagai perguruan tinggi pertama di Muhammadiyah, sejarah membuktikan, UMJ menjadi asal mula dari lahirnya berbagai Universitas di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA). Selama 68 tahun, […]

Artikel Sambut Milad Ke-68, Melihat Kembali Perkembangan UMJ Bersama Prof. Masyitoh pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) akan merayakan usia Ke-68 pada 18 November 2023. Seiring pertambahan usia tersebut, UMJ terus berkomitmen mewujudkan visi dan misinya menjadi universitas Terkemuka, Modern, dan Islami.

Sebagai perguruan tinggi pertama di Muhammadiyah, sejarah membuktikan, UMJ menjadi asal mula dari lahirnya berbagai Universitas di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA).

Selama 68 tahun, UMJ telah banyak berkembang sebagai sebuah institusi pendidikan. Rektor UMJ Periode (2006-2015) Prof. Dr. Hj, Masyitoh Chusnan, M.Ag., akan membawa kita melihat kembali beberapa cuplikan perjalanan kampus yang terletak di Cirendeu, Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

Guru Besar Pemikiran Islam Fakultas Agama Islam (FAI) Prof. Dr. Hj, Masyitoh Chusnan, M.Ag., merupakan rektor perempuan pertama di UMJ. Masyitoh, merupakan putri dari pasangan H. Hadits dan Hj. Murhati yang lahir di Cikarang, Jawa Barat, pada 25 Desember 1953.

Terlahir dari keluarga Muhammadiyah, ia menamatkan pendidikan menengah di Madrasah Muallimat Muhammadiyah. Kemudian, meraih sarjana lengkap di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Masyitoh melanjutkan studinya di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S2) Konsentrasi Studi Islam. Setelah menamatkan program magister, ia meneruskan pendidikan program doktoralnya dengan kosentrasi dan kampus yang sama.

Sebelum menjadi Rektor, Masyitoh mengawali karirnya di UMJ sebagai Ketua Program Studi FAI lalu Wakil Dekan I FAI kemudian menjadi Wakil Rektor I. Saat ini ia menjabat sebagai ketua senat dan direktur Pascasarjana.

Ditemui di ruangan direktur Sekolah Pascasarajana (SPS), Selasa (31/11/23), Masyitoh mengawali ceritanya tentang perkembangan fasilitas dari setiap Fakultas. Menurutnya, hingga kini UMJ terus memantapkan langkahnya menuju universitas modern dan Islami.

“Sebagai amal usaha Muhammadiyah yang dirintis dari bawah oleh umat, menjadi keniscayaan UMJ untuk berkembang. Sebagai induknya PTM, UMJ harus berkembang terus untuk menjadi unggul,” jelasnya.

Dibawah kepemimpinannya saat itu, UMJ terus memperbaiki beberapa fasilitas fakultas. Empat tahun pertama masa kepemimpinannya, Masyitoh berhasil membangun kepercayaan masyarakat dan pemerintah. UMJ banyak mendapatkan bantuan dan hibah dari pemerintah dalam pengembangan sarana dan prasarana kampus.

Pada masa kepemimpinan Masyitoh sebelumnya, UMJ mendapat bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat (PUPR) berupa Asrama Putra dan Asrama Putri yang masih berdiri kokoh hingga kini.

UMJ juga berhasil membangun gedung Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) yang cukup megah dengan biaya mandiri. Selain itu, UMJ juga mendapatkan dana hibah pengembangan akademik dari Ditjen Dikti Kemendiknas untuk membangun gedung Sekolah Pascasarjana dan Gedung Fakultas Hukum.

Pertandingan Futsal di Lapangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Pertandingan Futsal di Lapangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)

Saat itu banyak Fakultas dan Program Studi yang berhasil berkembang hingga memiliki 39 Prodi yang tersebar di 8 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Teknik, Fakultas Agama Islam, Fakultas Pertanian, Fakultas Kesehatan dan Kedokteran, Fakultas Ilmu Pendidikan.

Tidak hanya itu, UMJ juga memiliki 8 Magister (Ilmu Hukum, Studi Islam, Manajemen, Ilmu Administrasi, Akuntansi, Komunikasi, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan), dan Program Diploma 3 (Otomotif dan Alat Berat, Keperawatan dan Kebidanan).

Pasca musibah jebolnya tanggul Situ Gintung yang banyak merusak fasilitas kampus, UMJ mendapat bantuan dari CSR Pertamina untuk membangun Gedung Lab School Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP).

Gedung Fakultas Agama Islam (FAI) saat terjadinya Bencana Situ Gintung
Gedung Fakultas Agama Islam (FAI) saat terjadinya Bencana Situ Gintung

Menurutnya UMJ berkomitmen membangun suasana kampus sesuai dengan visi UMJ, “Menjadikan universitas yang terkemuka, modern dan islami.” Visi itu yang menjiwai seluruh program kerja, kegiatan dan proses pendidikan yang berlangsung di UMJ.

Lebih lanjut, Masyitoh juga bercerita, bagaimana UMJ juga berkomitmen mendorong peningkatan kualitas kegiatan belajar dan mengajar. Pada era kepemimpinannya, UMJ memiliki sebanyak 343 orang dosen. Sebanyak 45 dosen tetap telah memiliki jenjang pendidikan doktor (S3) dan gelar akademik guru besar sebanyak 14 orang.

Hingga saat ini UMJ memiliki dosen sebanyak 613 orang. 231 dosen memiliki jenjang pendidikan doktor (S3) dan gelar akademik guru besar sebanyak 20 orang. Kemudian, lebih dari setengahnya bergelar master (S2) dan sebagian dari mereka kini sedang menyelesaikan program doktornya di berbagai bidang disiplin ilmu, baik di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.

“Pendidikan para dosen selalu berkembang, kita selalu berkomitmen dari era kepemimpinan saya hingga saat ini, UMJ memberikan fasilitas beasiswa pendidikan untuk dosen dan mahasiswa,” ungkap Masyitoh.

Hal-hal yang telah dijalankan oleh UMJ tersebut demi mewujudkan visi dan misi, terutama melahirkan banyak generasi unggul Muhammdiyah. Menutup cerita tentang perkembangan UMJ, Masyitoh menyampaikan pesan untuk Milad UMJ Ke-68. Ia berpesan UMJ harus menunjukan keunggulannya, karena Perguruan Tinggi Muhammadiyah menjadi ujung tombak dakwah Muhammadiyah.

“Teruslah berkembang, tunjukan keunggulan. Karena, PTM mempunyai dua fungsi yakni strategis dan ideologis. Fungsi Ideologis membentuk mahasiswa dengan nilai-nilai Muhammdiyah dan fungsi strategis yakni sebagai pemasok pemimpin umat dan bangsa, harus melahirkan generasi unggul sesuai dengan karakter Muhammadiyah,” tutup Masyitoh.

Penulis : Fazri Maulana
Editor  : Dian Fauzalia

Artikel Sambut Milad Ke-68, Melihat Kembali Perkembangan UMJ Bersama Prof. Masyitoh pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Ma’mun Murod, Dari Menulis Hingga Jadi Guru Besar https://umj.ac.id/wawancara/mamun-murod-dari-menulis-hingga-jadi-guru-besar/ Wed, 08 Nov 2023 12:26:29 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=42379 Bagi seorang aktivis, menulis adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk menghidupkan gerakan, membumikan gagasan, dan mengabadikan sejarah. Begitu pula jalan yang ditempuh Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si., yang sudah  aktif berorganisasi dan rajin menulis saat menjalankan studi program sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beberapa dekade silam. Saat ditemui di Ruang Rektor Gedung […]

Artikel Ma’mun Murod, Dari Menulis Hingga Jadi Guru Besar pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Bagi seorang aktivis, menulis adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk menghidupkan gerakan, membumikan gagasan, dan mengabadikan sejarah. Begitu pula jalan yang ditempuh Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si., yang sudah  aktif berorganisasi dan rajin menulis saat menjalankan studi program sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beberapa dekade silam. Saat ditemui di Ruang Rektor Gedung Muhammadiyah Civilization Center, dosen yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini bercerita tentang karier menulisnya yang dimulai di tabloid Bestari milik UMM. Sambil disertai tawa kecil, Ma’mun mengenang dapat honor Rp.15.000 atas tulisannya yang dimuat di kolom-kolom kecil.

Tulisan saya pernah juga antara tahun 1992-1993 tulisan saya dimuat di Suara Muhammadiyah, judulnya Gaza Jericho First. Setelah itu saya cukup tersanjung saat tulisan saya dimuat di koran Pelita, koran yang hebat, media Islam, skala nasional. Sekali kirim tulisan saya langsung dimuat dan menjadi kolom tunggal. Ada kebanggaan luar biasa,. Saya copy (lembaran koran) dan dibagi-bagikan di kelas,” kenang Ma’mun.

Semakin gemar menulis, semakin banyak pula tulisan yang coba dikirim Ma’mun ke koran lokal. Saat studi S2 di Universitas Airlangga, tulisannya mulai tembus ke media nasional seperti Jawapos dan beberapa media lainnya.

“Saya berterima kasih pada Mas Maksum, redaktur opini Jawapos yang banyak memberikan saya kesempatan untuk menulis. Bahkan tulisan saya pernah juga jadi kolom tunggal, waktu itu membahas soal PPP sekitar 1997an,” ungkap dosen kelahiran Brebes, 13 Juni 1973 ini.

Media lainnya yang juga pernah menerbitkan tulisan Ma’mun di antaranya Fajar Sulsel, Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat Yogya, Solopos, Suara Muhammadiyah, Matan, dan Republika. Salah satu pengalaman menulis yang berkesan bagi Ma’mun adalah ketika pertama kali mengirim tulisan dan menjadi kolom tunggal di Koran Sindo pada awal tahun 2000an dengan judul tulisan “Gus Dur dan Kiai Kampung”.

Ma'mun Murod, Dari Menulis Hingga Jadi Guru Besar
Tulisan Prof. Ma’mun Murod, M.Si., yang terbit di media nasional.

Tulisan-tulisannya sering yang berkaitan dengan isu politik, meskipun sebetulnya Ma’mun merupakan mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial UMM. Passionnya bukan di Kesos, katanya, melainkan di Ilmu Politik. Maka dari itu tulisan-tulisannya dominan bertema politik.

Passion saya politik. Walaupun, kuliah di Prodi Kesos, saya malah menulis skripsi bidang ilmu politik. Itu atas kebesaran jiwa Dekan FISIP yang menjadi pembimbing saya waktu itu. Beliau bisa paham. Saya sampaikan ke Beliau, rasanya tidak mungkin menulis masalah Kesos dan bahkan saya sudah mencari data-data tentang politik kiyai. Akhirnya karena sama-sama masih rumpun sosial, Beliau membolehkan saya menulis skripsi tentang itu,” kenang kader yang aktif di IMM mulai dari Komisariat hingga DPP ini.

Ma’mun adalah kader Muhammadiyah yang berlatar keluarga Nahdlatul Ulama. Ketertarikannya terhadap dunia politik telah tumbuh sejak kecil karena sering mendengar cerita dari Pakde-nya yang aktif di PPP dan sebelumnya pernah di Golkar. Ia bercerita bahwa Pakde yang saat itu tinggal di Jakarta beberapa kali keluar-masuk penjara dan saat pulang kampung, Ma’mun banyak mendapat cerita tentang situasi politik yang terjadi di Jakarta. Bahkan saat kecil dulu ia mengetahui isu-isu tentang penurunan Presiden Soeharto yang tidak hanya didukung oleh gerakan mahasiswa tapi juga pengusaha. Dosen yang dikenal dengan nama Ma’mun Murod Al-Barbasy ini juga mengenal aktivitas politik dari ibunya yang aktif di PPP. Ibu yang lahir dan besar di pedesaan (bahkan Ma’mun menyebutnya ‘kampung’), sering mengajaknya ikut dalam kampanye PPP pada jelang Pemilu 1982 dan nyaris tidak pernah absen. Dengan ukuran masyarakat perdesaan, baginya, kampanye saat itu dilakukan dengan semarak luar biasa. Alumni MA Negeri Tambakberas Jombang Jatim ini menggambarkan suasana kampanye yang dipenuhi alat peraga kampanye berbentuk ka’bah yang dipasang di tiang-tiang. Seluruh alat peraga itu dibuat sendiri secara swadaya, memperlihatkan bahwa ibunya dan masyarakat di Brebes saat itu memiliki militansi kuat meskipun tidak cukup memiliki pengetahuan politik karena media tidak seperti sekarang. Ketertarikan ayah dari tiga orang anak ini terhadap bidang ilmu sosial terutama politik juga semakin terasah karena sejak kecil sudah gemar membaca buku. Bahkan dirinya memiliki koleksi buku dilengkapi stempel pribadi untuk menandakan buku-buku miliknya. Stempel itu kemudian jadi penyebab Ma’mun mengalami pengalaman yang tidak dapat dilupakan dalam hidupnya. Pengalaman itu bermula saat Ma’mun dipanggil Kepala Sekolah karena ada dua orang polisi datang dan mencarinya. Kedatangan polisi ini untuk mengusut fotokopian artikel majalah tentang kristenisasi yang ditempel di tiang-tiang listrik. Dan di siti ada stempel nama Ma’mun.

“Waktu itu pola pikir saya masih sangat skriptualis. Saya pernah membaca tulisan di sebuah media dakwah tentang kristenisasi, saya fotokopi dan saya sebarkan. Saya masih ingat waktu itu hari Kamis, karena saya rutin puasa Senin-Kamis. Saya tempel lembaran fotokopi tulisan itu di tiang-tiang listrik. Saat pasang itu, saya tidak sadar ada stempel saya ikut tercetak,” tutur dosen yang menyelesaikan studi  Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.

Saat masuk ke Ruang Kepala Sekolah yang sudah ada dua polisi, Ma’mun langsung ditampar oleh Kepala Sekolah dan membuat matanya berkaca-kaca. Kejadian itu memaksa Abahnya segera datang. Padahal Abah sangat jarang menjenguk putranya di Jombang, tempat SMA Ma’mun berada. Ma’mun bertutur bahwa kedatangan abah ke Jombang dapat dihitung dengan jari. Menurutnya, Abah sudah sangat paham bagaimana karakter anaknya. Bahkan sejak sebelum masuk SMA, Ma’mun sering mendapat nasihat dari Abah agar selalu berhati-hati. Orang tua Ma’mun yaitu Abah H. Ibrahim (alm.) dan Ibu Hj. Salamah, tidak pernah melarang putranya menjadi seorang aktivis, melainkan sudah sangat paham dan memberikan dukungan. Selama masa hidup, almarhum Abah menjadi teman diskusi bagi Ma’mun apabila sedang menghabiskan waktu liburan semester di rumah, Brebes. Malam yang waktunya tidak lebih dari 12 jam itu menjadi malam panjang yang berkualitas bagi ayah dan anak, karena diisi dengan obrolan politik. Hampir setiap malam diisi dengan diskusi.

Ma'mun Murod, Dari Menulis Hingga Jadi Guru Besar
Prof. Ma’mun Murod, M.Si., menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang.

Jiwa aktivis dalam diri Ma’mun terbentuk alami. Semasa kuliah, berbagai macam organisasi diikuti olehnya, mulai dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dirintis dari Komisariat FISIP UMM hingga Dewan Pimpinan Pusat, dan Pemuda Muhammadiyah. Beberapa organisasi lain yang diikuti di antaranya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, dan lain-lain. Semakin mengenal lebih dalam, pandangannya tentang politik juga semakin berkembang. Dari sebelumnya melihat politik secara normatif, hingga kini melihat politik yang lebih luas lagi.

“Dulu pikirannya normatif saja. Saat ini, politik itu pragmatis. Itu yang membuat kita sulit memahami. Realitasnya kita disuruh untuk bersahabat dengan politik dalam arti sebenarnya yang sekarang tidak normatif,” katanya.

Meskipun begitu, Ma’mun tetap tertarik untuk terjun di dunia politik praktis. Menurutnya politik praktis adalah wahana untuk menguji dirinya. Beberapa nama partai seperti Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional, menjadi kendaraan politiknya. Bahkan tidak hanya sekadar kendaraan, Ma’mun bersama angkatan muda Muhammadiyah mendirikan Partai Matahari Bangsa pada 2006. Pembetukan partai tersebut kemudian terbit dalam sebuah buku berjudul Sejarah Berdirinya Partai Matahari Bangsa pada 2008.

“Politik tidak cukup hanya di kampus. Ini untuk uji iman dan uji teori. Haruslah terjun hanya saja emang risiko politik liberal ini tidak memungkinkan terjun politik tanpa uang. Saya pernah jadi caleg dari Partai Matahari Bangsa, kami serius waktu itu mau mewarnai politik Indonesia. Tapi realitasnya itu tidak sama, jauh berbeda dengan yang diajarkan di kampus. Yang pasti saya tidak pernah menyesal terjun di politik. Saya terpanggil dan terdorong karena yang terlibat dulu di BPUPK itu profesor-profesor, kalangan cendekia yang membaca dan terlibat dalam politik. Sekarang kan terlalu banyak praktik dan miskin literatur, kecuali memang politisi yang pernah menjadi aktivis akan berbeda dibanding dengan yang nol,” ungkapnya.

Keyakinan itu masih dipegang teguh olehnya sampai saat ini. Bahkan saat duduk sebagai Rektor UMJ. Menurutnya, menjadi rektor berarti menjadi petugas yang melakukan kerja politik untuk menjalankan kebijakan-kebijakan. Ma’mun yang sebelumnya pernah menjadi Dekan FISIP UMJ ini juga meyakini bahwa rektor adalah kalangan paling bebas dalam berbicara. Terlebih saat meraih gelar Guru Besar, meskipun Ma’mun meyakini gelar tersebut adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang berprofesi sebagai dosen.

“Ketika seseorang sudah jadi profesor, sudah menyelesaikan pendidikan paling akhir itu kadang jadi beban akademik dan beban moral. Tentu menjadi Guru Besar di bidang Ilmu Politik, saya dituntut untuk beradaptasi dan memberikan respon tentang perkembangan politik. Sementara itu, realitas politik sekarang sperti ini. Itu menjadi tantangan saya untuk memberikan respon yang konstruktif,” ungkapnya menutup sesi wawancara.

Penulis : Dinar Meidiana
Editor   : Tria Patrianti  

Artikel Ma’mun Murod, Dari Menulis Hingga Jadi Guru Besar pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Dokter Indonesia Untuk Rakyat Indonesia https://umj.ac.id/wawancara/dokter-indonesia-untuk-rakyat-indonesia/ Tue, 24 Oct 2023 04:18:08 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=41345 Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT., Dosen FKK UMJ dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Artikel Dokter Indonesia Untuk Rakyat Indonesia pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Pesan mendalam disampaikan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT., saat diwawancarai eksklusif secara daring pada Kamis (19/10/2023), dalam rangka memperingati Hari Dokter Nasional yang ditetapkan berdasarkan hari berdiri IDI pada 73 tahun lalu.

“Dokter Indonesia untuk rakyat Indonesia,” tuturnya.

Satu kalimat bermakna itu datang dari seorang yang dulu tidak pernah berpikir akan menjadi seorang dokter, dosen di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, apalagi jadi Ketua Umum IDI. Waktu duduk di bangku SMA, Adib membidik Fakultas Teknik untuk melanjutkan perjalanan akademiknya, namun orang tuanya mengarahkan untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran. Sebagai bakti pada orang tuanya, saat mendaftar UMPTN Adib menetapkan pilihan pertamanya pada Fakultas Kedokteran dan pilihan kedua pada Fakultas Teknik. Tak sampai di situ, pria asal Lamongan ini juga mencoba peruntungan di salah satu sekolah ikatan dinas, yaitu Sekolah Tinggi Telkom. Kegalauan besar dirasakannya saat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan ST Telkom. Tak ada paksaan dari orang tuanya untuk memilih Fakultas Kedokteran, namun Adib tetap berhati-hati dalam memilih. Ia melakukan salat istikharah, konsultasi dengan ustaz pembimbing, dan juga meresapi amanat neneknya.

“Orang tua saya bilang, nenek ingin salah satu cucunya jadi dokter. Ya sudah. Kalau begitu sudah jelas amanatnya. Saya pilih masuk Fakultas Kedokteran. Saya termasuk kelompok yang daftar ulang paling akhir. Rombongan ini rata-rata kondisinya sama, masuk FK karena disuruh orang tua atau galau karena diterima di kampus seperti ITB, dan lain-lain, ” kata dosen yang pernah menjabat sebagai Wakil Dekan III FKK UMJ ini.

Meskipun harus masuk ke fakultas yang sebetulnya tidak diinginkan, tapi Adib berpikir dewasa dan mencoba strategi agar dapat belajar dengan baik. Salah satunya dengan aktif berorganisasi, baik internal maupun eksternal kampus yaitu Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Islam. Menurut Ketua Tim Mitigasi Dokter IDI ini, dengan berkomunitas dapat membantu menguatkan keyakinan dirinya sebagai mahasiswa kedokteran yang termasuk rombongan akhir tadi. Selain itu berkomunitas juga membantu dirinya mendapatkan teman belajar untuk mengasah nalar dan kerangka berpikirnya.

“Kalau tidak ikut komunitas, akan sulit mendapat arahan. Saya termasuk orang yang banyak terbantu oleh teman dan senior. Saya dapat dukungan untuk kebutuhan pendidikan, seperti buku dan diktat. Itu semua saya modal pinjam. Alhamdulillah tidak sampai merepotkan orang tua untuk membeli buku dan sebagainya,” kenangnya.

Melalui aktivitas berorganisasi, dokter yang aktif di berbagai kegiatan sukarelawa ini berproses dan menemukan fakta bahwa belajar di FK tidak sama dengan fakultas lain. Menurutnya, seorang dokter tidak hanya harus bisa berkutat pada teori dan hafalan tapi juga menggunakan nalar dan pikiran. Itu semua diasah saat berorganisasi melalui diskusi dan debat gagasan. Proses belajar yang dilakukannya adalah belajar bersama di sebuah komunitas. Dengan mengungkapkan gagasan dan debat dalam diskusi, mahasiswa akan terlatih untuk mengolah nalar, pikiran dan menyusun kerangka berpikir. Dengan berdiskusi tentang permasalahan kedokteran dan teori-teori ilmu kedokteran, maka akan lebih melekat dari pada hafalan saja. Proses dan metode belajar itu, dikatakan Adib, akan bermanfaat ketika pendidikan menjadi dokter co assistant (dikenal dengan dokter koas).

“Dengan mengolah pikiran dan nalar, akan mengasah kemampuan untuk memecahkan masalah saat jadi dokter co-ass. Inilah olah pikir yang bisa kita dapatkan kalau belajar di kedokteran dalam satu kelompok, bukan individu. Kalau hafalan saja akan cepat hilang. Maka belajar berkelompok itu menjadi sangat penting,” kata Adib.

Bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa kedokteran sekaligus aktivis, Adib akhirnya menemukan betapa pentingnya konsep berjamaah. Begitu pula dengan makna seorang dokter, Adib berhasil menemukannya meskipun bukan saat belajar untuk mendapat gelar dokter melainkan saat lulus dan mulai menyandang gelar dokter. Makna dokter di mata Adib, didapatkan dari sosok Ayah yang akrab ia panggil Abah.

“Ada satu pesan dari Abah saat saya baru lulus. ‘Dib, kamu beruntung bisa lulus jadi seorang dokter karena di dalam profesi kedokteran itu ada dua amalan yang bisa kamu dapatkan. Satu, amalan yang konsekuensi pada duniawi, dan kedua amalan akhirat. Bayangkan kamu melakukan pelayanan, pasien sembuh maka kamu kemudian akan mendapatkan uang dari pasien, tapi kemudian pasien akan memberikan doa. Itu yang bisa jadi tidak didapatkan profesi lain.’ Itulah kelebihan kami yang berprofesi dokter,” kenang Adib.

Pesan itu terus diingat, diyakini, dan dipegang teguh oleh Adib selama menjalankan tugas sebagai seorang dokter. Adib merasa beruntung mendapat pengajaran budi pekerti yang sangat luhur dari ayahnya. Ia mengaku tidak pernah mendengar kata-kata dari ayahnya yang menerangkan bahwa seorang dokter harus kaya secara materi. Adib ditekankan untuk mencari rida Allah sehingga yang dicari adalah amalan sebagai tabungan menuju kehidupan akhirat. Adib yang bergabung sejak masa awal FKK UMJ berdiri ini juga awalnya tidak berniat menjadi dosen. Ketika itu ia  hanya mengantarkan juniornya mengajar di FKK UMJ. Namun takdir mempertemukan Adib dengan dr. Syafri Guricci, Dekan FKK UMJ saat itu dan beberapa pimpinan fakultas lainnya. Saat itulah Adib juga ditawarkan untuk menjadi dosen di FKK UMJ.

“Saya mengantarkan adik kelas saya. Pak Syafri malah bertanya pada saya, ‘Kenapa gak sekalian kamu juga (jadi dosen)?’ Padahal saat itu saya baru diterima pendidikan spesialis dan Pak Syafri membolehkan. Akhirnya saya juga ikut masuk menjadi dosen di UMJ. Saya salah satu dosen yang masuk angkatan pertama penerimaan dosen di FKK UMJ. Pada waktu itu masih di Cempaka Putih, di rumah kontrakan kecil,” kenang Adib.

Sebagai mahasiswa yang sangat aktif berorganisasi, darah aktivis tampaknya sulit pudar. Tanah mana pun yang dipijak pasti akan mengarahkan Adib untuk aktif berorganisasi, seperti halnya pengalaman saat bergabung di IDI. Pendirian Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (Perdamsi) yang digagas bersama beberapa profesor kedokteran dan dokter bedah, mendorong Adib untuk menjalin komunikasi dengan IDI. Saat itu ia merupakan Pegawai Tidak Tetap di Brigadir Siaga Bencana angkatan pertama di bawah Kementerian Kesehatan yang dipercaya sebagai Executive Officer. Menurutnya penting untuk berkonsultasi dengan IDI sebagai organisasi profesi dokter. Titik itulah yang kemudian mempertemukan kembali Adib dengan senior aktivisnya. Singkat cerita, Adib ditarik ke dalam kepengurusan PB IDI.

“Maka saya masuk di PB IDI, kemudian belajar dari awal dari senior. Saya masuk menjadi koordinator Ketua Bidang Penanggulangan Bencana. Saat bencana tsunami Aceh, saya dipercaya sebagai presidium harian yang mengelola bantuan IDI untuk Aceh. Banyak pembelajaran saya dapat di IDI dan terus berlanjut. Selesai tsunami saya meneruskan sekolah, niatnya supaya tidak terlibat lagi di IDI, tapi ternyata tetap dilibatkan dan akhirnya sampai sekarang,” ungkap dokter yang kini berstatus mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.

Selama berkhidmat di IDI, Adib berupaya melakukan kampanye-kampanye bagi dokter dan calon dokter tentang banyak hal. Salah satunya melalui program IDI Goes to Campus. Saat menyambangi berbagai kampus di seluruh wilayah Indonesia, Adib menyampaikan pada calon lulusan dokter muda untuk menyiapkan diri menatap masa depan kedokteran Indonesia.

“Para lulusan dokter muda harus meningkatkan kompetensi, tidak hanya dari sisi pengetahuan tapi juga jejaring, international sertification, dan kemampuan bahasa asing. Satu hal yang tidak kalah penting dokter harus tahu terkait regulasi masalah kesehatan sehingga tahu perkembangan regulasi pelayanan, pendidikan, dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kualifikasi sebagai dokter. Dokter adalah profesi yang longlife learning, harus belajar seumur hidup,” kata Adib.

Menurut dokter lulusan Pendidikan Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi FK UI ini, IDI juga memiliki tanggung jawab dalam mendorong kemampuan SDM dokter yang dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai stakeholder mulai dari pemerintah dan lembaga pendidikan. Mahasiswa kedokteran, kata Adib, harus siap menghadapi globalisasi, tantangan dan kompetisi mengingat ada kemungkinan masuknya dokter dan tenaga kesehatan asing ke Indonesia. Mengakhiri wawancara eksklusif, Adib berharap agar para dokter selalu menjaga kesolidan dan tetap berjamaah agar dapat menghadapi tantangan globalisasi, disrupsi kesehatan dan berbagai hal yang dapat memecah belah kesejawatan profesi. Tantangan dan masalah yang muncul menurut Adib tidak dapat diselesaikan secara individu melainkan berjamaah sebagaimana konsep berjamaah yang diyakininya.

“Inilah satu kelebihan yang kita dapatkan juga di fakultas kedokteran di kampus Islam seperti UMJ, dasar-dasar agama ditambah dengan dasar etik profesi akan menjadi fondasi kuat dan kolektif kolegial untuk menghadapi tantangan-tantangan,” kata dokter yang menyelesaikan studi Doktoral FK Universitas Hassanudin Makassar pada 2023 ini.

Pada peringatan Hari Dokter Indonesia yaitu hari didirikannya IDI, Adib dengan lugas mengatakan bahwa, “Bangga menjadi dokter Indonesia dan kita syiarkan pada seluruh pasien kita bahwa pasien harus memiliki kepercayaan pada kita sehingga muncul rasa bangga dilayani dokter Indonesia. Inilah satu upaya branding kampanye kami yaitu dokter Indonesia untuk rakyat Indonesia,” tegasnya.

Penulis : Dinar Meidiana
Editor   : Tria Patrianti  

Artikel Dokter Indonesia Untuk Rakyat Indonesia pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Rizky Harisnanda, dari UMJ ke CNN Indonesia https://umj.ac.id/wawancara/rizky-harisnanda-dari-umj-ke-cnn-indonesia/ Wed, 04 Oct 2023 08:32:25 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=39809 Rizky Harisnanda, News Anchor CNN Indonesia, alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), membagikan pengalaman

Artikel Rizky Harisnanda, dari UMJ ke CNN Indonesia pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>

Mungkin saat ini masih ada yang berpikir, jika mau sukses berkarier haruslah memiliki beberapa privilege. Mulai dari pemberian modal dari orang tua, mengusung nama besar orang tua, atau minimal punya kenalan “orang dalam”.

Itu semua tidak berlaku bagi  Rizky Harisnanda, alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) yang saat ini sukses berkarier sebagai  News Anchor CNN Indonesia. Padahal dia tidak memiliki salah satu privilege itu.

Rizky tidak pernah membayangkan bisa berkarier di dunia jurnalistik menjadi seorang news anchor. Tapi dia menyadari dirinya sangat tetarik pada bidang public speaking. Rizky Harisnanda kini tiap hari tampil di layar televisi CNN Indonesia melalui program Good Morning yang tayang setiap pukul 07.30 WIB.

Saat ditemui seusai acara Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UMJ, Selasa (02/10/2023), alumnus yang memulai pendidikannya di UMJ pada 2009 ini bercerita tentang kisah hidupnya.

Rizky sadar kalau orang tuanya tidak dapat membiayai kuliahnya dan juga tidak memiliki jejaring luas untuk membantunya berkarier nanti. Hal itu memantik tekad Rizky, bahwa ia harus berusaha lebih banyak dan lebih keras dibanding orang lain.
Ia mengaku pernah melewati masa-masa sibuk dan tidak ada hari libur karena harus kuliah sambil bekerja dan juga menambah kemampuannya dengan les Bahasa Inggris. Semua itu dibiayainya sendiri dengan gajinya yang hanya setaraf UMR.


“Setelah lulus SMA saya sempat menganggur setahun. Berada di titik terendah itu membuat saya berpikir dan merefleksi diri, bukan diam saja. Setelah dapat pekerjaan, saya bertekad untuk daftar kuliah. Saya memilih jurusan yang saya anggap mudah dan untuk seru-seruan, walaupun setelah saya jalani kuliahnya ternyata tidak semudah itu,” tutur Rizky.

Merasa kuliah saja tidak cukup, Rizky merasa perlu menambah kemampuan berbahasanya dengan mengambil les privat Bahasa Inggris. Padahal Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang cukup ditakutinya saat SMP dan SMA.

“Saya seperti kesetanan semangat belajar. Kalau lagi kuliah atau les Bahasa Inggris, saya pasti selalu duduk di kursi depan. Semangat banget,” kenangnya.

Tak cukup hanya belajar teori, pada 2011 Rizky memutuskan untuk mengikuti ajang bergengsi Abang None Jakarta. Tujuannya untuk menambah pengalaman dan meningkatkan value untuk berkarier. Awalnya laki-laki berdarah Sumatera Barat ini sempat mengalami krisis kepercayaan diri saat mengikuti ajang tersebut. Ia merasa latar belakangnya  tidak secemerlang kontestan Abang None lainnya yang berasal dari universitas ternama dalam dan luar negeri. Namun ia terobos rasa minder itu hingga akhirnya melaju ke babak final.

Menurut Rizky, kelolosannya ke babak final Rizky merupakan takdir dari Allah SWT., karena sebelumnya dia sudah dinyatakan tidak lolos.

Rizky Harisnanda dari UMJ, Abang None Hingga CNN Indonesia
Rizky Harisnanda saat menjadi kontestan Abang None 2011.


“Tapi beberapa hari sebelum final, saya dihubungi penyelenggara, diberitahu bahwa saya lolos jadi finalis karena ada satu kontestan yang mengundurkan diri. Itu keberuntungan yang luar biasa dan saya percaya Allah tidak memberikan keberuntungan itu ke orang yang tidak dikehendakiNya,” kata Rizky dengan wajah berbinar.

Ajang Abang None itu menjadi gerbang perjalanan karier Rizky. Berbekal ilmu yang didapat selama Abang None, Rizky terus mengasah kemampuan public speakingnya hingga akhirnya ia dapat memimpin acara dengan menjadi master of ceremony di program Abang None, hingga reporter, dan news anchor di media dan stasiun televisi nasional.

“Kalau dulu tidak ikut Abang None, mungkin sampai sekarang tidak tahu mau jadi apa, karena karier itu terbuka dari situ (Abang None). Dari situ mulai kumpulkan jam terbang dan mulai berani ngemsi di luar event Abang None. Kemudian networking semakin luas, jadi makin banyak kerjaan masuk,” katanya.

Experience is the best teacher. Rizky menggunakan pengalaman pahitnya saat mulai meniti karier sebagai bahan evaluasi dan dorongan untuk belajar lebih giat. Pengalaman pernah disebut sebagai MC yang kurang seru memantik semangat Rizky untuk terus belajar jadi MC profesional dengan cara memerhatikan MC lainnya.

“Prinsipnya, saya tahu punya keterbatasan tapi jangan sampai itu menghalangi. Sebisa mungkin saya mencoba dan learning by doing. Pernah dikomplain MCnya jelek, katanya. Pernah juga jadi MC untuk acara 3 sampai 4 hari. Hari pertama dievaluasi katanya kurang rame. Sempet drop tapi akhirnya belajar dari MC lain. Cara belajarnya waktu ada event di JCC, saya keliling ke setiap booth hanya untuk memerhatikan MC lainnya,” pungkas laki-laki kelahiran 27 April 1990 ini.

Selain jadi MC, Rizky mencoba peruntungan lainnya dengan menjadi host sebuah program traveling di Kompas TV, news anchor di TVRI DKI Jakarta, Jawapostv, dan kini di CNN Indonesia. Berkarier dari media satu ke media lainnya menambah pengalaman dan ketajaman Rizky sebagai seorang jurnalis.

Rizky mengungkapkan rasa bangganya sebagai alumni Ilkom FISIP UMJ. Menurutnya, UMJ memberikan pendidikan sangat baik karena didasari dengan nilai-nilai agama Islam.

“Dunia komunikasi yang dar der dor, dekat dengan hal-hal ‘begitu’ ada satu keunggulan yang jadi pembeda yaitu nilai-nilai Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Itu yang jadi tameng selama berkarier,” ungkapnya.

Rizky Harisnanda dari UMJ, Abang None Hingga CNN Indonesia
Rizky Harisnanda saat siaran dalam program televisi di Jawapostv dan CNN Indonesia

 

Ia juga tak ragu menawarkan diri untuk berkontribusi di UMJ sebagai rasa terima kasih karena telah menjadi bagian dari perjalanan kariernya.

“Apa yang saya bisa bantu? Saya mau bantu. UMJ jadi salah satu bagian dari perjalanan karier saya. Ijazah S1 yang saya gunakan untuk berkarier, ya dari UMJ. Bangga sekali dengan kampus yang semakin maju. Dulu belum ada gedung ini. Saya kuliah di gedung depan dekat gerbang masuk (Gedung Perintis). Jajan dan makan biasanya di warung Umi,” kenangnya sambil berdecak kagum dan nostalgia masa-masa kuliah.

Selain kenangan jajan di warung Umi yang hingga kini masih ada di dekat Gedung Fakultas Agama Islam (FAI), Rizky juga mengenang kebaikan staf Tata Usaha FISIP yang kini telah menjadi Kepala TU FISIP. Elangsari Wulandari atau akrab disapa Wulan, yang dahulu menghubungi Rizky ketika ia tak kunjung menyelesaikan skripsi.

“Ada satu momen saya hilang dari kampus dan dikontak sama Mbak Wulan untuk kembali lanjutkan kuliah. Tidak mau sia-sia akhirnya kerjankan dan selesai. Akhirnya selesaikan skripsi masih dengan pembimbing yang sama, Pak Sofiandi, sampai sidang dan wisuda,” tuturnya.

Rizky yang dulu sempat punya rasa iri karena tidak bisa seperti teman-teman sebayanya yang dapat menikmati hasil kerjanya dengan berlibur atau membeli ponsel terbaru kini telah menikmati sedikitnya hasil dari proses yang dilalui beberapa tahun silam.

“Untuk adik-adik mahasiswa yang saat ini kuliah dibiayai orang tua, beruntung. Nikmatilah, belajar sebaik-baiknya. Ikut organisasi, kegiatan dan maksimalkan di kampus. Cari juga kesempatan di luar kampus agar punya insight lain. Mungkin insight dari luar bisa dibawa ke kampus sehingga semakin memperkaya kampus. Jangan pernah puas, apapun yang bisa dilakukan untuk menambah value dan pengalaman, lakukanlah. Nanti saat selesai dari kampus baru terasa enaknya punya banyak pengalaman.”

Menutup pertemuan sore itu, Rizky mengungkapkan bahwa dirinya bangga menjadi seorang jurnalis.

“Saya bangga menjadi jurnalis. Senang sekali karena bisa menyuarakan suara orang banyak melalui sebuah platform. Itu pekerjaan bermanfaat buat orang banyak. Kerja bukan sekadar untuk uang tapi ada ibadahnya di situ. Tentu hal itu bisa dilakukan kalau kita memiliki pribadi yang baik berlandaskan norma, agama, susila.”

Penulis : Dinar Meidiana
Editor    : Tria Patrianti

Artikel Rizky Harisnanda, dari UMJ ke CNN Indonesia pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Reza Firdaus, Pembalap Muda dari FTAN UMJ https://umj.ac.id/wawancara/reza-firdaus-pembalap-muda-dari-ftan-umj/ Sun, 01 Oct 2023 13:45:18 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=38251 Sebagai mahasiswa agroteknologi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Reza Firdaus memiliki hobi yang tidak terbatas pada satu bidang saja. Dia mencintai dunia balap, yang memberinya banyak pengalaman yang luar biasa. Reza pun membuktikan olahraga otomotif yang ditekuninya itu tidak seburuk anggapan sebagian orang. Reza mulai tertarik dengan dunia balap motor sejak duduk di bangku SMP. Saat […]

Artikel Reza Firdaus, Pembalap Muda dari FTAN UMJ pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Sebagai mahasiswa agroteknologi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Reza Firdaus memiliki hobi yang tidak terbatas pada satu bidang saja. Dia mencintai dunia balap, yang memberinya banyak pengalaman yang luar biasa. Reza pun membuktikan olahraga otomotif yang ditekuninya itu tidak seburuk anggapan sebagian orang.

Reza mulai tertarik dengan dunia balap motor sejak duduk di bangku SMP. Saat itu teman-temannya, yang usianya lebih tua, banyak menggeluti road race, ajang balap motor jalanan yang diperlombakan secara resmi dengan lintasan khusus. Meski terkesan sama, road race berbeda dengan balap motor liar.

“Salah satu hambatan yang saya alami adalah restu orang tua. Saat itu orang tua saya masih menganggap balapan motor itu kegiatan yang negatif,” kenang Reza.

Penolakan dari orang tua tidak membuat semangat Reza padam. Diam-diam ia mulai membalap. Setelah beberapa lama, dengan dukungan kakak laki-lakinya, Reza mulai berani untuk berkata jujur pada orang tuanya bahwa dia telah mengikuti perlombaan balap motor resmi dari Yamaha. Reza menjelaskan bahwa kejuaraan yang diikutinya merupakan kejuaraan resmi yang diwadahi oleh perusahaan otomotif yang suka mengadakan event olahraga.

“Lomba pertama yang saya ikuti itu ajang kejuaraan yang diselenggarakan oleh Yamaha. Sampai saat ini saya masih mengikuti kejuaraan tersebut. Karena saat itu masih pertama banget, modal perlengkapan dan biaya semuanya dana pribadi. Latihan pun hanya seadanya,” tutur Reza.

Pengalaman pertama kali mengikuti kejuaraan membuat Reza tertarik untuk terus mengikuti kejuaraan balap motor.

“Saya berpikir, kalau orang lain bisa kenapa saya tidak bisa? Salah satu motivasi saya juga karena saya menyukai Valentino Rossi,” tegasnya.

Akhirnya Reza rajin mengikuti berbagai kejuaraan balap motor. Ia pun sering tampil jadi juaranya. Bahkan dalam satu kejuaraan Reza dapat meraih 3 sampai 4 juara sekaligus. Itu bisa terjadi karena Reza sering mengikuti balapan dengan tiga jenis motor berbeda, yaitu matic, bebek, dan sport sekaligus.

“Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan adalah saat mengharumkan nama keluarga dan juga UMJ. Itu saat mengikuti kejuaraan Yamaha. Saya berhasil menjadi juara umum dengan poin hampir sempurna, 70 poin, dengan jarak tempuh 4500 meter dalam satu putaran. Waktu itu saya berhasil menghabiskan waktu kurang lebih 20 menit dalam 8 putaran,” ungkap Reza.

Bulan Agustus lalu Reza juga pernah mengikuti kejuaraan yang diselenggarakan Yamaha di sirkuit Mandalika, Lombok.

“Itu pengalamam baru yang luar biasa,” katanya.

Yamaha Sunday Race
Reza Firdaus saat memenangkan Juara Umum pada ajang Yamaha Sunday Race di Sirkuit Sentul Internasional, Minggu (23/10/2022).

Reza lantas menjelaskan dalam setiap balapan ia harus mengikuti 3 sesi, yaitu latihan, kualifikasi waktu, dan istirahat. Reza mengaku dalam setiap balapan harus mempersiapkam fisik dengan baik, olahraga yang cukup, latihan kebugaran fisik, dan juga harus menerapkan pola hidup sehat.

Tentu saja Reza juga pernah mengalami kecelakaan saat sedang balapan. Motornya rusak, namun Reza tetap berusaha melanjutkan balapan.  Motivasi terbesar Reza untuk bangkit adalah melihat kerja keras mekanik membantunya mempersiapkan kejuaraan. Hal itu membangkitkan semangat dalam dirinya untuk dapat meraih juara.

Reza adalah mahasiswa UMJ yang juga aktif berperan dalam organisasi BEM FTAN sebagai kepala bidang ekonomi dan kreatif. Reza memilih bidang pertanian karena latar belakang orang tuanya yang merupakan petani tanaman hias. Reza tegas mengatakan ia tidak menutup kemungkinan untuk nanti akan menjadi petani muda, ataupun menjadi pembalap. Kalaupun menjadi petani, ia tetap bisa mengisi waktu luang dengan balapan motor.

“Saya berharap ke depannya dapat tetap aktif sebagai pembalap. Saya juga merasa bersyukur karena selama kuliah di UMJ mendapatkan lingkungan yang nyaman dan teman-teman selalu mensupport saya. Semoga ada mahasiswa UMJ yang dapat meneruskan jejak saya jadi pembalap,” ujar Reza.

Reza berpesan selain harus mengupgrade diri dengan pendidikan, mahasiswa juga harus tetap menyalurkan hobi yang dapat menjadi suatu prestasi yang membanggakan.

“Tentunya pintar membagi waktu dan jangan terlena dalam dunia main, selalu giat dan meminta restu kepada orang tua,” tutur Reza menutup perbincangan.

Penulis : Mutiara H.S

Editor : Tria Patrianti

Artikel Reza Firdaus, Pembalap Muda dari FTAN UMJ pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Qoriah Internasional Alumni UMJ Ingin Berantas Buta Aksara Al-Qur’an https://umj.ac.id/wawancara/qoriah-internasional-alumni-umj-ingin-berantas-buta-aksara-al-quran/ Wed, 09 Aug 2023 08:54:20 +0000 https://umj.ac.id/?post_type=wawancara&p=35932 Membaca Al-qur’an tidak hanya sekadar kewajiban, tetapi juga keistimewaan. Dalam salah satu hadits riwayat Tarmidzi dikatakan bahwa membaca satu huruf Al-Quran dapat mendatangkan satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan. Pemahaman itulah yang membuat Mastia Lestaluhu tertarik menekuni baca Quran sejak duduk di kelas 4 SD. Hal itu kemudian mengantarkan alumni program studi Hukum […]

Artikel Qoriah Internasional Alumni UMJ Ingin Berantas Buta Aksara Al-Qur’an pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
Membaca Al-qur’an tidak hanya sekadar kewajiban, tetapi juga keistimewaan. Dalam salah satu hadits riwayat Tarmidzi dikatakan bahwa membaca satu huruf Al-Quran dapat mendatangkan satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan.

Pemahaman itulah yang membuat Mastia Lestaluhu tertarik menekuni baca Quran sejak duduk di kelas 4 SD. Hal itu kemudian mengantarkan alumni program studi Hukum Perdata Islam Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Jakarta ini sebagai Qoriah internasional di tahun 2011.

“Saya pertama kali jadi juara internasional saat diorbitkan oleh UMJ. Pada tahun 2011 FAI UMJ memenuhi  undangan dari USIM Malaysia untuk mengikuti Ihtifal Institusi Pengajian Tinggi. UMJ mengirim 2 mahasiswa, saya dan seorang mahasiswa lain, laki-laki. Alhamdulillah saya juara 2 dan teman saya juara 3,” ungkap sosok yang kerap dipanggil Mastia itu.

Kenangan menjadi qoriah internasional tentu sangat luar biasa. Wanita kelahiran Ambon merasa kemenangan saat itu telah menjadi pintu utama untuk membangun relasi.

“Merasa bersyukur banget karena dapat bertemu orang luar dan menjalin pertemanan. Karena ini skala internasional. Jadi ada jalan untuk memperluas relasi. Ketika kita ingin membuka bisnis ataupun menimba ilmu, akan lebih mudah,” tuturnya.

Selanjutnya Mastia makin sering memenangkan  perlombaan tilawah di berbagai daerah, dalam dan luar negeri.  Mulai dari perlombaan Musabaqah Syarhil  Quran Nasional 2012 di Maluku, lomba Tilawah Dewasa Putri STQ Nasional 2013 di Bangka Belitung, Tilawah Dewasa Putri MTQ Nasional 2014 di Batam, Tilawah Dewasa Putri MTQ Nasional 2015 di Jakarta, Qiraat Sab’ah Putri MTQ Nasional 2016 di Lombok, hingga jadi juara 2 MTQ Internasional 2016 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Pengalaman Mastia ternyata tidak di satu bidang saja. Perempuan yang sangat gigih dalam mengejar ilmu ini ternyata menuntut ilmu di dua universitas sekaligus. Saat menempuh semester 5 di FAI UMJ, Mastia mendaftarkan diri pada studi Diplomasi 4 (D4) di salah satu sekolah motivator di Tangerang selatan.

“Aku mengambil double degree. Tapi pendidikan di sekolah motivator ini cukup lama, sampai enam Setengah tahun. Jadi, setelah lulus dari UMJ aku masih melanjutkan sekolah motivator. Dua tahun kemudian aku mukai studi S2 di salah satu PTS di Jakarta.  Aku baru lulus dari sekolah motivator itu bersamaan dengan kelulusan dari sekolah S2 itu,” kenang Mastia.

Pendidikan di sekolah motivator itu memberi Mastia dua buah gelar, yaitu CPSM (Certified Profesional Spritual Motivator) dan CHC (Certified Hypnosis Communication). Jadi,  selain menjadi qoriah yang melalang buana ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negara, Mastia juga aktif sebagai motivator dan dosen hipnoteraphy di akademik non formal.

Hobi membaca Al-Qur’an yang ditekuni sejak kecil hingga dewasa membuat Mastia memiliki keinginan untuk memberantas buta aksara Al-Qur’an. Ia lantas mendirikan institusi yang bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan untuk pengajar Al-Qur’an bernama Mastiah Institute.

Proses pembelajaran Mastiah Institute yang sudah berusia 4 tahun ini dilakukan secara daring. Di sini, para guru pengajar baca Qur’an diajarkan cara memberikan proses belajar yang menyenangkan.

“Sebagai orang yang berkecimpung di dunia Qur’an dan memiliki prestasi di bidang tersebut, aku sebenarnya ingin memiliki pesantren, tapi sembari mempersiapkan jalannya aku ingin lembaga belajar mengajar ini berjalan lebih dulu,” ujar Mastiah.

Dengan berdirinya Mastiah Institute, Mastia berharap semakin banyak umat Muslim yang mahir membaca Al-Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut, Mastia memberikan tips untuk lancar membaca Al-Qur’an.

“Temukan guru. Biarpun sekarang banyak platform belajar mengaji, tapi peran guru tetap tidak tergantikan. Temukan guru yang paham ilmu yang akan dipelajari,” ujar Mastia.

Selain itu, Mastia juga menekankan agar pembaca Al-Qur’an selalu istiqomah dalam setiap proses. Karena, menurutnya, tidak ada pembelajaran yang selalu lancar. Belajar tentu penuh rintangan. Namun, semua itu tergantung bagaimana cara untuk menghadapinya. “Karena kalau nggak mau menderita karena kebodohan, ya harus hadapi menderita karena proses belajar,” tutup Mastia.

Penulis : Mutiara H.S

Editor  : Tria Patrianti

Artikel Qoriah Internasional Alumni UMJ Ingin Berantas Buta Aksara Al-Qur’an pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.

]]>
https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/